Sejarah Kopi di Indonesia dimulai pada tahun 1696 ketika Adrian Van Ommen gubernur belanda di malabar india, berhasil menyelundupkan benih kopi arabika dari yaman kepada koleganya Willem Van Outhoorn gubernur hindia belanda di batavia. Kopi arabika di indonesia pertama kali ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, di tempat yang sekarang dikenal dengan Pondok Kopi -Jakarta Timur, dengan menggunakan tanah partikelir Kedaung. Sayangnya tanaman ini kemudian mati semua oleh banjir, pada tahun 1699 didatangkan lagi bibit-bibit baru, yang kemudian berkembang di sekitar Jakarta dan di Jawa Barat (Priangan), dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian dikepulauan Indonesia seperti Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor.

karena iklim dan kondisi tanah sangat subur sehingga bisa menghasilkan kualitas kopi yang sangat baik, Tahun 1706 Kopi tsb diteliti oleh Belanda di Amsterdam, yang kemudian tahun 1714 hasil penelitian tersebut oleh Belanda diperkenalkan dan ditanam di Jardin des Plantes oleh Raja Louis XIV. Java coffee pun akhirnya menjadi komoditi dagang yang sangat diandalkan VOC. Ekspor kopi pertama dilakukan tahun 1711 oleh VOC, dan dalam tempo 10 tahun ekspor meningkat sampai 60 ton/tahun. Karenanya, Hindia Belanda menjadi tempat perkebunan pertama di luar Arabia dan Ethiopia yang membuat VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 sampai 1780.

Untuk mendukung produksi kopi, VOC membuat perjanjian berat sebelah dengan penguasa setempat di mana para pribumi diwajibkan menanam kopi yang harus diserahkan ke VOC. Perjanjian ini disebut Koffiestelsel (sistem kopi). Berkat sistem ini pula biji kopi berkualitas tinggi dari tanah jawa bisa membanjiri Eropa. Kopi Jawa saat itu begitu terkenal di Eropa sehingga orang-orang Eropa menyebutnya bukan secangkir kopi, melainkan secangkir java (jawa). Sampai pertengahan abad ke-19 kopi jawa adalah yang terbaik di dunia.

Sistem perdagangan kopi terus berlangsung meskipun kemudian VOC dibubarkan dan Hindia Belanda diperintah oleh perintah Belanda. Ketika Hermann Willem Daendels (1762-1818) memerintah, ia membangun jalan dari ujung barat jawa sampai ujung timur yakni Anyer-Panarukan. Tujuannya untuk memudahkan transportasi prajurit Belanda dan surat-menyurat di tanah Jawa. Alasan lainnya, tentu saja untuk mempercepat biji kopi dari ujung timur Pulau Jawa mencapai pelabuhan di Batavia, dan selanjutnya dikapalkan ke Belanda untuk dijual ke Eropa.

Penderitaan akibat koffiestelsel kemudian berlanjut dengan cultuurstelsel alias sistem tanam paksa. Melalui sistem tanam paksa yang diciptakan Johannes van den Bosch (1780-1844) ini, rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Akibatnya, terjadi kelaparan di tanah Jawa dan Sumatera pada tahun 1840-an. Namun, berkat cultuurstelsel itu Jawa menjadi pemasok biji kopi terbesar di Eropa. Di antara tahun 1830-1834 produksi kopi arabika di Jawa mencapai 26.600 ton, selang 30 tahun kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton.

Produksi kopi Jawa mencapai titik puncaknya di abad ke-19 yang pada tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton. Saat itu, kopi memainkan peranan yang jauh lebih penting dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1970 mencapai 25.965.000 gulden, maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah mencapai 8.416.000 gulden.

Kejatuhan kopi jawa dimulai ketika serangan penyakit kopi melanda pada tahun 1878. Setiap perkebunan di seluruh Nusantara terkena hama penyakit kopi yang disebabkan oleh Hemileia Vasatrix. Penyakit ini membunuh semua tanaman arabika yang tumbuh di dataran rendah. Kopi arabika yang tersisa hanyalah yang tumbuh di lahan setinggi dari 1.000 meter di atas permukaan laut.

Pudarnya kejayaan kopi jawa ini kemudian diisi oleh kopi arabika asal Brasil dan Kolombia yang terus merajai hingga sekarang. Meskipun demikian, sisa tanaman kopi arabika masih dijumpai di kantong penghasil kopi di Indonesia, antara lain di garut dan Bandung (Jabar), dataran tinggi Ijen (Jatim), tanah tinggi Toraja (Sulsel), serta lereng bagian atas pegunungan Bukit Barisan (Sumatera), seperti Mandailing, Lintong dan Sidikalang (Sumut), serta dataran tinggi Gayo (Aceh).

Untuk menyikapi serangan hama ganas tersebut, pemerintah Belanda kemudian menanam kopi liberika yang lebih tahan hama. Namun ternyata jenis ini pun juga mudah diserang penyakit karat daun dan kurang bisa diterima di pasar karena rasanya yang terlalu asam. Sisa tanaman Liberica saat ini masih dapat dijumpai di daerah Jambi, Jawa Tengah dan Kalimantan. Lantas kopi Robusta mulai diperkenalkan di Indonesia di awal 1900-an untuk menggantikan kopi liberika dan arabika yang hancur lantaran hama. Kopi Robusta yang lebih tahan terhadap hama dianggap sebagai alternatif yang tepat terutama untuk perkebunan kopi di daerah dataran rendah. Saat ini, produksi kopi di Indonesia menempati peringkat keempat terbesar di Dunia.